Senin, September 21, 2015

Sholat Idul Adha 1436 H

Berdasarkan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah  No: 01/MLM/I.0/ E/2015 Tentang Penetapan Hasil Hisab  Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1436 Hijriyah, sesuai hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, diputuskan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H bertepatan dengan hari Senin tanggal 14 September 2014 M sehingga tanggal 10 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September 2014 M.
Berikut tempat - tempat sholat Idul Adha di Kota Madiun.

Minggu, Desember 09, 2012

MUHAMMADIYAH JALAN LURUS


Oleh : DR H HAEDAR NASHIR, MSI

Akhir-akhir ini di Jawa Tengah dan DIY  ada sebuah kelompok Islam yang bergerak dalam majelis pengajian tafsir dan Hadits yang menarik warga Muhammadiyah. Sebagian warga atau aktivis Muhammadiyah di bawah ada yang tertarik masuk ke gerakan tersebut. Selain karena intensifnya pengajian yang mereka selenggarakan, sebagian orang Muhammadiyah sering diyakinkan kalau majelis pengajian tersebut satu paham dengan Muhammadiyah. Malah dinyatakan bahwa gerakan Islam ini pahamnya sama dengan Muhammadiyah awal alias asli, yang disebutnya sebagai Muhammadiyah jalan lurus. Dalam makna lain, Muhammadiyah yang berkembang saat ini tidak lagi asli.

Model pengajiannya baik dalam dialog melalui radio maupun pengajian-pengajian langsung di tingkat jamaah cenderung serba tegas, zakelik, dan tidak jarang keras. Banyak hal serba dibid’ahkan seperti takbiran malam Idul Fitri maupun  Idul Adha dan sebagainya. Anjing misalnya hukumnya tidak haram, karena yang najis hanya air liurnya. Modelkepemimpinannya ala imamah yang monolitik dengan berpusatpada imam, sehingga melahirkan ketaatan total minus kritik. Pengumpulan dana bersifat sentralistik dan cenderung memaksa. Pendekatan keagamaan serba tekstual yang ketat.
Sebagian aktivis Muhammadiyah ada yang menjadi anggota pengajian dan pengurus organisasi Islam tersebut. Pada awalnya keterlibatan aktivis Muhammadiyah tersebut normal saja karena ingin tahu atau simpati, sekaligus karena menjaga silaturahim. Tetapi lama kelamaan menjadi faktor daya pikat untuk menarik warga Muhammadiyah lainnya sekaligus masuk ke lingkungan jamaah-jamaah Muhammadiyah. Seperti biasa, warga Muhammadiyah bersikap lurus-lurus saja, sehingga tidak merasa ada masalah. Namun akhirnya tersedo juga sehingga menjadi bagian dari majelis tersebut dan bahkan mulai mengeritik Muhammadiyah. Muhammadiyah dipandang dan diopinikan tidak “asli” lagi.
Sebenarnya setiap gerakan, mazhab, dan golongan dalam Islam dipersilakan untuk menganut paham dan praktik pengamalan Islam sesuai dengan keyakinannya, sejauh masih bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang autentik. Setiap golongan, aliran, dan gerakan tidak perlu saling menyalahkan satu sama lain, bila perlu malah saling berdialog. Muhammadiyah pun tidak merasa terganggu dengan hadirnya gerakan-gerakan Islam yang lain, bahkan bersikap positif, yang penting saling menghargai, menghormati, tasamuh atau toleransi, dan malah dapat bekerjasama dalam bingkai ukhuwah Islam yang utama. Sejarah juga menunjukkan adanya keragaman umat Islam dalam memahami dan mengamalkan Islam dari dulu sampai kini.
Hal yang tidak diinginkan ialah mengklaim diri paling Islami, paling autentik, paling aseli, paling lurus, dan paling benar seraya menegasikan atau memandang keliru dan salah golongan Islam yang lain. Lebih dari itu sambil memandang yang lain keliru atau salah, pada saat yang sama menjadikan alasan untuk menarik warga sekaligus masuk ke lingkungan jamaah gerakan Islam lain yang dipandang tidak lurus itu. Jika demikian yang terjadi maka akan rusak ukhuwah Islam, lebih jauh lagi misi kerisalahan Islam akan mengalami banyak benturan di dalam dan pada akhirnya tidak akan membuahkan pencapaian Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin.

Muhammadiyah Awal
Apakah benar Muhammadiyah generasi awal tidak sama dengan Muhammadiyah saat ini, sebaliknya Muhammadiyah saat ini sudah melenceng dari gerakan awal sebagaimana didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan? Pertanyaan dan pandangan yang seperti itu sesungguhnya keliru, setidaktidaknya tidak didasarkan pada argumentasi dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pernyataan Muhammadiyah saat ini tidak mengikuti garis Muhammadiyah awal lebih merupakan opini untuk menarik simpati warga Muhammadiyah daripada mengandung kebenaran.
Pada masa awal dari banyak sumber yang autentik, Kiai Dahlan dan kawan-kawan meletakkan dasar gerakan Muhammadiyah sungguh kokoh. Muhammadiyah sejak awal ingin menyebarluaskan dan memajukan ajaran Islam serta kehidupan umat dan bangsa sebagaimana formulasi pada Statuten Muhammadiyah tahun 1912 tentang tujuan. Melalui berbagai penjelasan pemikiran dan langkah Kiai Dahlan selaku pendiri, Muhammadiyah melakukan gerakan dakwah dan tajdid dengan bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang shahih, serta mengembangkan akal pikiran yang sejalan dengan ajaran Islam dalam memahami dan mengamalkan Islam. Menurut Prof A Mukti Ali, Muhammadiyah sebagai tercermin dari gerakan awalnya memiliki misi sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (Ali, 1958: 20). Sementara itu dalam karakter dirinya dan diakui masyarakat luas, Muhammadiyah sejak awal dikenal sebagai gerakan tajdid, baik yang bersifat pemurnian maupun pembaruan, sehingga melahirkan berbagai amaliah dan amal usaha Islami yang bermanfaat bagi kemajuan umat dan masyarakat luas.
Kiai Dahlan meluruskan arah kiblat dan mengajak umat untuk tidak mengeramatkan kuburan, tetapi pada saat yang sama mengajak untuk berpikiran maju, berakhlak mulia, dan melakukan amalan-amalan Islam untuk kemajuan umat. Dalam buku Kiai Hadjid dan Kiai Syuja’ yang dikenal dekat dan menjadi sahabat terdekat Kiai, tergambar pancaran pemahaman dan pengamalan Islam yang merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang shahih atau makbulah, sekaligus mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berkemajuan. Inilah karakter Muhammadiyah yang asli sebagaimana diletakkan fondasinya oleh Kiai Dahlan dan generasi as-sabiqun al-awwalun.
Dari pandangan sekilas tampak sekali perbedaan dengan gerakan-gerakan Islam yang hanya menekankan pada pemahaman dan praktik Islam yang serba tekstual, parsial, dan menekankan hal-hal ubudiyah mahdhah belaka. Lebih berbeda dengan gerakan-gerakan Islam yang sekadar bergerak dalam tabligh terbatas tertentu sekaligus mengesankan anti kemajuan karena setiap kemajuan dipandang bid’ah. Di sinilah pentingnya warga apalagi pimpinan Muhammadiyah memahami hakikat gerakan Muhammadiyah generasi awal dari sumbernya yang autentik, bukan dari luar yang sekadar menjadikan alat opini untuk melemahkan sekaligus menarik minat warga Muhammadiyah keluar dari barisan organisasi.

Muhammadiyah Saat Ini
Bagaimana dengan Muhammadiyah saat ini, apakah sudah melenceng dari Muhammadiyah awal? Kalau mengikuti logika atau opini kelompok pengajian tafsir Al-Qur’an tersebut seolah Muhammadiyah yang berkembang saat ini tidak aseli lagi seperti Muhammadiyah zaman Kiai Dahlan, dianggap sudah melenceng terutama dalam pemberantasan TBC dan menampilkan Islam yang tegas, kata mereka. Sebagian aktivis atau orang Muhammadiyah termakan dengan opini tersebut, sehingga aktif di kelompok tersebut dan menjauh dari Muhammadiyah, malah mengajak warga Muhammadiyah yang lain untuk ikut.
Masalah ini penting untuk dipahami secara benar oleh seluruh warga Muhammadiyah, lebih-lebih kader dan pimpinan. Jika mengikuti penjelasan penulis tentang Muhammadiyah generasi awal, sungguh seratus prosen Muhammadiyah saat ini sama dengan dan mengikuti jejak Muhammadiyah generasi awal. Dalam merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang makbullah masih konsisten, bahkan diperkaya dengan ilmu tafsir dan Hadits serta berbagai ilmu pendukung yang lebih lengkap. Dalam paham tajdid dipertegas tentang pemurnian atau purifikasi dan pengembangan atau dinamisasi, sehingga pembaruan Islam yang dikembangkan Muhammadiyah memiliki fondasi yang kokoh. Dalam hal pendekatan dalam memahami Islam dikembangkan tiga metode terpadu yakni bayani (tekstual), burhani (burhani), dan irfani (ihsan, akhlak, spiritual), sehingga komprehensif dan tidak parsial. Dalam hal ibadah rujuklah Himpunan Putusan Tarjih dan Keputusan-keputusan Munas Tarjih lainnya yang jelas dan kokoh mengikuti tuntunan Nabi yang matsurah.
Bagaimana dengan dakwah kultural? Dakwah kultural sama sekali tidak membenarkan syirk, tahayul, bid’ah, dan khurafat sebagaimana disalahpahami sebagian orang. Dakwah kultural justru menegaskan karakter dakwah Muhammadiyah yang harus bil-hikmah, wa al-mau’idhatul hasanah, wa jadil-hum billati hiya ahsan (Qs. Al-Nahl: 125), sehingga Islam tampil dalam misi kerisalahan dan kerahmatan yang luas. Dalam pandangan keagamaan Muhammadiyah saat ini bahkan menegaskan Islam yang berkemajuan sebagaimana spirit, pesan, dan orientasi pandangan ke-Islaman Muhammadiyah yang dipelopori Kiai Dahlan sehingga melahirkan gerakan pembaruan. Pendek kata, Muhammadiyah saat ini justru menempuh jalan lurus, bukan bengkok dan melenceng. Sebaliknya Muhammadiyah dulu, kini, dan ke depan tidak sama dengan gerakan-gerakan yang hanya menampilkan Islam dalam aspek yang serpihan dan suka menyesatkan pandangan Islam yang lain. Karenanya, warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah jangan terbawa arus apalagi ikut mendukung dan menjadi bagian dari gerakan Islam yang mendiskreditkan Muhammadiyah sendiri. Beristiqamahlah di jalan Islam sebagaimana diyakini, dipahami, dan diamalkan Muhammadiyah. Inilah Muhammadiyah jalan lurus. l

Sumber : SUARA MUHAMMADIYAH 04 / 97 | 16 -  29 FEBRUARI 2012 Hal. 12

Sabtu, Desember 08, 2012

Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Angkat Tangan Dalam Berdoa


Saudara Abd Syakur, Metro, Lampung Tengah.

Pertanyaan :

Beberapa waktu lalu kami sempat berdialog dengan teman-teman di suatu masjid, mengenai mengangkat tangan ketika berdo’a. Sebagian teman berpendapat disunnahkan mengangkat tangan, sedang teman lainnya berpendapat tidak disunnahkan. Semuanya menyodorkan hadits, baik yang berpendapat sunnah mengangkat tangan, maupun yang berpendapat tidak sunnah mengangkat tangan.
Yang berpendapat tidak sunnah mengangkat tangan karena ada hadits yang mengatakan: illa fil istisqa’ (kecuali ketika istisqa’ saja). Karena ada istitsna’ (perkecualian) itulah sebagian teman kami berpendapat tidak disunnahkan mengangkat tangan ketika berdo’a. Maka dengan ini kami mohon kepada dewan fatwa untuk menjelaskan, apa yang dimaksudkan dengan istitsna’ (perkecualian) tersebut? Karena yang berpendapat tidak sunnah mengangkat tangan, mengatakan bahwa haditsnya hanya dua di al-Bukhari, menganggap lemah. Maka kami mohon dikutipkan beberapa hadits, kalau perlu sebanyak mungkin yang bapak temukan, agar lebih jelas, lengkap dengan sanadnya.

Jawaban :

Untuk memenuhi permintaan Saudara memang memerlukan waktu banyak sebab harus membaca beberapa kitab hadits, terutama syarahnya. Sebab untuk memahami hadits tidak cukup hanya dari segi sanadnya saja, atau hanya dari segi nahwunya, atau hanya dari segi matannya saja, melainkan harus melihat juga dari berbagai segi, termasuk segi balaghahnya.
Baiklah untuk menyingkat jawaban, kami kutip lebih dahulu hadits-hadits yang dapat kami temukan menurut kemampuan kami,  dan insya Allah kami jelaskan secara singkat:

I         Hadits-hadits yang mengungkapkan bahwa Nabi saw mengangkat tangan ketika berdo’a, antara lain ialah:
1- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عَلَى أَثَرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يُسْهِلَ فَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيْلاً وَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْوُسْطَى ثُمَّ يَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيَسْتَهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيلاً وَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ وَيَقُومُ طَوِيلاً ثُمَّ يَرْمِي جَمْرَةَ ذَاتِ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ (رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198)
1. “Diceritakan kepada kami oleh ‘Utsman bin Syaibah, diceritakan kepada kami oleh Thalhah bin Yahya, diceritakan kepada kami oleh Yunus, dari az-Zuhriy, dari Salim, dari Ibni ‘Umar ra, bahwa dia (Ibni ‘Umar) melempar jamrah yang dekat (pertama) dengan tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan kerikil, lalu maju hingga pada tempat yang rata dan berdiri menghadap qiblat dengan berdiri lama dan berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya. Lalu melempar jamrah wustha (kedua), lalu mengambil arah sebelah kiri dan menginjak tanah yang datar dan berdiri menghadap qiblat dengan lama berdiri, dan berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya dan berdiri lama, lalu melempar jamrah ‘aqabah (ketiga) dari arah lembah dan tidak berhenti di situ, kemudian meninggalkan tempat itu dan berkata: ‘Demikianlah saya melihat Nabi saw mengerjakannya’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198).

2- حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَخِي عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ يُونُسَ بْنَ يَزِيدَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ ثُمَّ يُكَبِّرُ عَلَى أَثَرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيُسْهِلُ فَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الْوُسْطَى كَذَلِكَ فَيَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيُسْهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ ذَاتَ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا وَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ (رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198)

2. “Diceritakan kepada kami oleh Isma’il bin ‘Abdillah, ia berkata: diceritakan kepadaku oleh saudaraku, dari Sulaiman, dari Yunus bin Yazid, dari Ibnu Syibah, dari Salim bin ‘Abdillah; bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar ra, melempar jamrah yang dekat (pertama) dengan tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan kerikil, lalu maju di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap ke qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah wustha (tengah) sebagaimana (melempar jamrah pertama), lalu mengambil arah kiri di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah ‘aqabah (yang terakhir) dari arah lembah dan tidak berhenti, dan berkatalah ‘Abdullah Ibnu ‘Umar: ‘Demikianlah saya melihat Rasulullah mengerjakannya’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198).
3- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَمَى الْجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنَى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا فَوَقَفَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو وَكَانَ يُطِيلُ الْوُقُوفَ ثُمَّ يَأْتِي الْجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ الْيَسَارِ مِمَّا يَلِي الْوَادِيَ فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو ثُمَّ يَأْتِي الْجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ الْعَقَبَةِ فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا قَالَ الزُّهْرِيُّ سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللهِ يُحَدِّثُ مِثْلَ هَذَا عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ (رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198)

3. “Diceritakan kepada kami oleh ‘Utsman bin ‘Umar, diceritakan kepada kami oleh Yunus, dari az-Zuhriy, bahwa Rasulullah saw, apabila melempar jamrah yang berada di dekat Masjid Mina, beliau melemparnya dengan tujuh kerikil sambil bertakbir setiap melemparkan satu kerikil, lalu maju ke depan dan berdiri sambil menghadap qiblat dan berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, dan beliau berhenti lama, lalu mendatangi jamrah kedua dan melemparnya dengan tujuh kerikil sambil bertakbir setiap melemparkan satu kerikil, lalu turun ke arah kiri, di sebelah lembah, dan berdiri menghadap qiblat serta berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu mendatangi jamrah ‘aqabah, lalu melemparnya dengan tujuh kerikil sambil bertakbir setiap melemparkan satu kerikil, lalu pergi dan tidak berhenti di situ. Az-Zuhriy berkata: ‘Saya mendengar Salim bin ‘Abdillah menceritakan hadits seperti ini dari ayahnya, dari Nabi saw, dan Ibnu ‘Umar melakukan (sebagaimana dilakukan Nabi saw)’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198).

4- حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ وَعَنْ يُونُسَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلَكَ الْكُرَاعُ وَهَلَكَ الشَّاءُ فَادْعُ اللهَ أَنْ يَسْقِيَنَا فَمَدَّ يَدَيْهِ وَدَعَا (رواه البخاري، كتاب الجمعة، باب رفع اليدين، ج:1، ص:109)

4. “Diceritakan kepada kami oleh Musaddad, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Hammad bin Zaid, dari ‘Abdil-‘Aziz, dari Anas, dari Yunus, dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: Ketika Nabi saw berkhutbah pada hari Jum’at, berdirilah seseorang dan berkata: ‘Hai Rasulullah, lembu-lembu dan kambing-kambing telah mati, dan telah mati pula biri-biri, maka berdo’alah kepada Allah agar Dia memberikan minum kepada kita!’ Kemudian beliau mengulurkan kedua tangannya dan berdo’a.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, Kitab al-Jumu’ah, bab raf’u- yadain, I:109).

5- حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَصَابَتِ النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ اْلجُمُعَةِ فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلَكَ الْمَالُ وَجَاعَ الْعِيَالُ فَادْعُ اللهَ لَنَا! فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءِ قَزَعَةً فَوَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا وَضَعَهَا حَتَّى ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الْجِبَالِ ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَطَرَنَا يَوْمَنَا ذَلِكَ وَمِنَ الْغُدُوِّ وَبَعْدَ الْغُدُوِّ وَالَّذِي يَلِيهِ حَتَّى الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَقَامَ ذَلِكَ اْلأَعْرَابِيُّ أَوْ قَالَ غَيْرُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ تَهْدِمُ الْبِنَاءُ وَغَرَقَ الْمَالُ فَادْعُ اللهَ لَنَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا فَمَا يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ السَّحَابِ إِلاَّ انْفَرَجَتْ وَصَارَتِ الْمَدِينَةُ مِثْلَ الْجَوْبَةِ وَسَالَ الْوَادِي قَنَاةً شَهْرًا وَلَمْ يَجِئْ أَحَدٌ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلاَّ حَدَّثَ بِالْجُوْدِ (رواه البخاري، كتاب الجمعة، باب رفع اليدين، ج:1، ص:109)

5. “Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim ibnul-Munzir, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Abul-Walid, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Abu ‘Umar, dan ia berkata: diceritakan kepadaku oleh Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Malik, ia berkata: Telah menimpa kepada manusia suatu musibah (kemarau) selama satu tahun pada masa Nabi saw; Maka ketika beliau berkhutbah pada hari Jum’ah berdirilah seorang Arab Badwi lalu berkata: ‘Hai Rasulullah, harta telah habis, dan keluarga kehausan, maka berdo’alah kepada Allah bagi kita! Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya, dan kami tidak melihat sekelompok awan di langit, demi Allah yang jiwaku berada di tangannya, beliau tidak meletakkan kedua tangannya hingga awan menjadi tersebar di atas gunung-gunung, beliau pun tidak turun dari mimbarnya hingga kami melihat hujan menetes di jenggot beliau, maka hujan pun turun kepada kita sehari penuh, dari pagi hingga paginya lagi, dan seterusnya hingga pada hari Jum’at berikutnya.’ Dan berdirilah orang Badwi tadi, atau orang lainnya dan berkata: ‘Hai Rasulullah, bangunan banyak yang rusak, dan harta banyak yang tenggelam, maka berdo’alah kepada Allah bagi kita!’ Kemudian beliau mengangkat tangannya dan bersabda: ‘Ya Allah (turunkanlah rahmat) kepada sekitar kami dan (janganlah menurunkan musibah) di sekitar kami’. Dan tidaklah beliau memberikan isyarat dengan tangannya, melainkan hilanglah kesedihan, dan menjadilah Madinah bagaikan ada suatu lobang dan mengalirlah lembah itu bagaikan  kanal selama satu bulan, dan setiap datang seseorang dari suatu pelosok, ia bercerita tentang kemakmuran.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, kitab Jumu’ah, bab mengangkat kedua tangan, I:109).

6- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بَرِيْدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ بِهِ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعُبَيْدٍ أَبِي عَامِرٍ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَوْقَ كَثِيرٍ مِنْ خَلْقِكَ مِنَ النَّاسِ (أخرجه البخاري، كتاب الدعوات، باب رفع اليدين، ج:4، ص:72)

6. “Disampaikan kepada kami suatu hadits oleh Muhammad ibnul-A’la, disampaikan kepada kami suatu hadits oleh Abu Usamah, dari Barid bin ‘Abdillah, dari Abi Burdah, dari Abi Musa, ia berkata: ‘Nabi saw meminta air untuk wudlu, lalu mengangkat kedua tangannya, lalu berdo’a: Ya Allah, ampunilah ‘Ubaid Abi ‘Amir, dan saya melihat putihnya kedua ketiaknya, lalu berdo’a lagi: Ya Allah, jadikanlah ia pada hari qiyamah di atas kebanyakan manusia dari makhluk-Mu’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, kitab ad-Da’awat, bab Do’a sesudah wudlu, IV:72).

7- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ (رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء، نمرة: 5/895)

7. “Diceritakan kepada kami oleh Abu Bakr bin Abi Syaibah, diceritakan kepada kami oleh Yahya bin Abi Bukair, dari Syu’bah, dari Tsabit, dari Anas, ia berkata: ‘Saya melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, sehingga kelihatan putihnya kedua ketiaknya’.” (Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al-Istisqa’, bab mengangkat tangan, No. 5/895).

8- أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هُشَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ قَالَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو فَمَالَتْ بِهِ نَاقَتُهُ فَسَقَطَ خِطَامُهَا فَتَنَاوَلَ الْخِطَامَ بِإِحْدَى يَدَيْهِ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَهُ اْلأُخْرَى (رواه النسائ، كتاب مناسك الحج، ج: 5: 254)

8. “Dikhabarkan kepada kami oleh Ya’qub bin Ibrahim, dari Husyaim, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh ‘Abdul Malik, dari ‘Atha, ia berkata: Berkatalah Usamah bin Zaid: ‘Saya membonceng Nabi saw di Arafah, maka beliau mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a, lalu untanya condong, dan jatuhlah tali kekangnya, lalu beliau mengambil tali kekang tersebut dengan salah satu tangannya, dan beliau tetap mengangkat tangan lainnya’.” (Diriwayatkan oleh an-Nasa’iy, kitab Manasik al-Hajji, bab Raf’ul-yadain, V:254).

9- عَنْ سَلْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّ رَبَّكُمْ حَيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا (أخرجه الأربعة إلا النسائ، و صححه الحاكم)

9. “Dari Salman ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ‘Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Hidup lagi Maha Dermawan, Dia malu kepada hamba-Nya apabila ia berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, menolaknya dengan hampa’.” (Ditakhrijkan oleh al-Arba’ah, kecuali an-Nasa’iy, dan menurut al-Hakim hadits tersebut adalah shahih; as-Shan’aniy, 1961, IV:219).

10- وَ عَنْ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ (أخرجه الترمذى و له شواهد منها عند أبى داود من حديث ابن عباس و غيره و مجموعها يقضي بأنه حديث حسن)

10. “Dari ‘Umar ra, ia berkata: ‘Apabila Rasulullah saw menjulurkan kedua tangannya ketika berdo’a, beliau tidak menariknya, hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya’.” (Ditakhrijkan oleh at-Tirmuziy, hadits tersebut mempunyai beberapa syahid (pendukung) antara lain ialah: Abu Dawud dari Ibni ‘Abbas dan lain-lainnya, dan menurutnya hadits tersebut adalah hasan, As-Shan’aniy, 1961).

11- قَالَ أَبُو مُوسَى اْلأَشْعَرِيُّ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ قَالَ أَبو عَبْدِ اللهِ وَقَالَ اْلأُوَيْسِيُّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ وَ شُرَيْكٍ سَمِعَا أَنَسًا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ (رواه البخاري، كتاب الدعوات،  ج:4، ص:68)

11. “Berkatalah Abu Musa al-Asy’ariy: ‘Berdo’alah Nabi saw dengan mengangkat kedua tangannya, dan saya melihat putihnya kedua ketiaknya’. Dan Ibnu ‘Umar berkata: ‘Nabi saw mengangkat kedua tangannya (dan berdo’a): Ya Allah, sungguh saya mohon kepada-Mu terbebas dari apa yang dilakukan oleh Khalid. Berkatalah Abu ‘Abdillah; ‘berkatalah al-Uwaisiy: diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin Ja’far, dari Yahya bin Sa’id dan Syuraik, keduanya mendengar Anas, dari Nabi saw (bahwa beliau) mengangkat kedua tangannya (ketika berdo’a) hingga aku melihat putihnya kedua ketiaknya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, kitab ad-Da’awat, IV:68).

II      Hadits yang menyatakan tidak mengangkat tangan.

1- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ وَعَبْدُ اْلأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي اْلاِسْتِسْقَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ (رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء، نمرة: 5/895)

1. “Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin al-Musanna, diceritakan kepada kami oleh Ibnu Abi ‘Adiy dan ‘Abdul A’la dari Sa’id, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Nabi saw tidak mengangkat kedua tangannya sedikitpun ketia berdo’a, kecuali dalam istisqa’ (mohon air hujan) hingga terlihat putihnya kedua ketiaknya.” (Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al-Istisqa’, bab Raf’ul-yadain, No. 5/895.

2- حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنِ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُمْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ (رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء، نمرة: 6/895)

2. “Diceritakan kepada kami oleh Ibnu al-Musanna, diceritakan kepada kami oleh Yahya bin Sa’id, dari Ibni Abi ‘Arubah, dari Qatadah, bahwa Anas bin Malik menyampaikan kepada mereka dari Nabi saw hadits yang sama.” (Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al-Istisqa’, bab Raf’ul-yadain, No. 6/895).

Penjelasan :

Demikianlah hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a, yang sempat kami kutip. Sebenarnya masih banyak hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a, tetapi hadits-hadits yang kami kutip tersebut sudah cukup untuk dijadikan sebagai dalil untuk memutuskan masalah yang saudara tanyakan itu.
Perlu diketahui bahwa selama ini, dalam memutuskan hukum Muhammadiyah selalu berpegang pada pokok-pokok manhaj sebagai berikut:
1.      Dalam beristidlal, selalu menggunakan sumber pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah (maqbulah=diterima). Ijtihad dapat dilakukan apabila masalah yang dibahas tidak berkaitan dengan ta’abbudi.
2.      Setiap keputusan harus dilakukan dengan cara musyawarah (ijtihad jama’iy).
3.      Muhammadiyah tidak mengikuti salah satu mazhab dari mazhab-mazhab yang ada, tetapi pendapat para imam mazhab dapat dijadikan sebagai pertimbangan, selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
4.      Jika dalil-dalil yang dipergunakan tampak adanya ta’arud (pertentangan), maka harus dilakukan al-jam’u wa at-taufiq atau dilakukan tarjih.
Demikanlah sebagian manhaj yang harus diketahui dan dipergunakan dalam mengambil keputusan.
Hadits-hadits yang kami kutip, sebagian besar menyatakan bahwa Nabi saw mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, dan sebagian ulama, antara lain: al-Qasthalaniy dalam syarah hadits, dan as-Shan’aniy dalam Subulus-Salam, menilainya sebagai hadits shahih, kecuali hadits No. 11, mereka tidak menilainya, apakah shahih ataukah da’if, tetapi Ishaq al-Farayiniy, menilainya secara umum, bahwa semua hadits yang termaktub dalam shahih al-Bukhariy dan Muslim telah disepakati oleh sebagian besar ahli hadits tentang keshahihannya, baik sanad maupun matannya. (al-Qasimiy, 1961, Qawa’id at-Tahdis: 85). Maka hadits No. 11, yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ariy adalah shahih, sebab termuat dalam Shahih al-Bukhariy. Sekalipun demikian, masih terbuka untuk menelitinya kembali, sehingga menjadi jelas kedudukannya.
Jika dibandingkan dengan hadits berikutnya, yaitu hadits No. II.1. dan hadits No. II.2., maka tampak adanya ta’arud (pertentangan). Hadits No. 1 sampai dengan No. 11 menyatakan bahwa Nabi saw mengangkat tangannya ketika berdo’a, sedang hadits No. II.1. dan II.2. menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya, kecuali hanya pada waktu istisqa saja.
Karena pada dalil-dalil tersebut tampak adanya ta’arud, maka untuk mengambil keputusan perlu menggunakan metode al-jam’u wa at-taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan) antara kedua dalil yang tampak bertentangan.
Al-Qasthalaniy ketika mensyarah hadits al-Bukhariy tentang mengangkat kedua tangan ketika berdo’a, mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan adalah sunnah, berdasarkan hadits-hadits tersebut. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan  bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya sedikit pun ketika berdo’a, kecuali pada waktu istisqa’ (mohon hujan), dia menjelaskan bahwa yang ditiadakan ialah sifat khusus, yaitu al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), bukan mengangkat tangan pada umumnya, artinya; bahwa Nabi saw ketika berdo’a juga mengangkat tangan, tetapi tidak setinggi ketika berdo’a dalam istisqa’. (al-Qasthalaniy, Syarh al-Bukhariy, IV:68).
As-Shan’aniy, dalam kitabnya Subulus-Salam menjelaskan; bahwa hadits-hadits tentang mengangkat tangan, menunjukkan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdo’a adalah mustahabb, dan hadits-hadits yang memerintahkan agar mengangkat kedua tangan ketika berdo’a jumlahnya cukup banyak. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, kecuali hanya ketika dalam istisqa’, dia menjelaskan bahwa yang dimaksudkannya ialah al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), yaitu mengangkat kedua tangannya dengan amat tinggi, dan yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali ketika berdo’a dalam istisqa’. Dan hadits-hadits tentang mengangkat kedua tangan telah dikumpulkan dalam satu juz oleh al-Munziriy. (As-Shan’aniy, 1961, IV:219).
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dua kelompok hadits tersebut tidaklah bertentangan (ta’arud), sebab kedua kelompok hadits tersebut masih dapat ditaufiqkan (dikompromikan).

Kesimpulan :

Mengangkat kedua tangan ketika berdo’a adalah sunnah atau mustahab, dan tidak perlu mengangkat tinggi-tinggi, kecuali pada waktu berdo’a istisqa’.